Oleh: Rini Mariani Siahaan / Mahasiswi Universitas Maritim Raja Ali Haji, program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
B.M. Syamsuddin lahir di Sedanau Kabupaten Natuna Kepulauan Riau, puisi Keluh Lengkang Kapal Tua ini merupakan salah satu karyanya dari sekian banyak buah karya yang ciptakan seperti cerpen, drama, dan artikel yang diawali pada tahun 1953 lewat koran lokal dan majalah Jakarta, serta lewat RRI Tanjungpinang dan Pekanbaru. B.M. Syamsuddin memiliki nama panggilan yang kerap di panggil Shab, Sham dan Syams dari ujung nama beliau.
Keluh Lengkang Kapal Tua
Ratap malam
Menjajab tangis dihati
Merayap dan hanyut
Dalam mimpi dini hari
Lewat terminal bandar Dumai
Terdengar pilu keluh kesah
Sabda lengkang kapal tua
Hai, daerah maritim
Awan terlalu menghijau
Hai daerah maritim
Cukup armada antar pulau
(sumber: natunasastra.wordpress.com)
Mengandung makna yang diungkapkan oleh penulis terhadap harapan untuk bisanya melewati kesulitan transportasi pada masa itu kala berada di tempat tinggal yang sangat jauh dari kesenangan dahulu pada kota Pekanbaru. Yang mana bila ditafsirkan secara bebas pada setiap larik memiliki ungkapan harapan dari kapal yang sudah terbilang tua, sudah tidak layak untuk digunakan tatkala terombang-ambing di atas ganasnya gelombang. Namun apa boleh dikata harapan semua sakan-akan sirna sebab tak ada baru untuk menggantikan kapal tua.
Dalam puisi tersebut ketika menatap malam dan melampiaskan kesedihan yang ada di dalam hati yang dilewati dari pelabuhan dumai, keluh kesah seorang kerap terdengar lengkap dengan kapal yang sudah tua yang memanggil daerah kepulauan bahkan awan pun tidak mendengar, memanggil daerah kepulauan dengan harapan penuhilah harapan dengan menggantikan kapal tua itu.
B.M. Syamsuddin dalam karya-karyanya selalu menggunakan kosakata melayu yang mana agar bahasa melayu tidak seoalah-olah habis hilang ditelan bumi. Melestarikan bahasa melayu itulah tujuannya sebagai ungkapan jati diri melayu itu sendiri sepeti kata “lengkang”
yang digunakan dalam judul puisi ini merupakan bahasa melayu yang berarti “langkah.”
Latar tempat dalam puisi ini yaitu terminal bandar Dumai yang berada di riau dimana pada malam hari yang menjadi saksi harapan terhadap transportasi.