MANDALAPOS.co.id, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) lagi-lagi menunjukkan kejengkelan. Kali ini Kepala Negara menyoroti soal produktivitas pangan yang tidak sebanding dengan ‘pengorbanan’ yang diberikan pemerintah.
“Saya jadi ingat soal pupuk. Berapa puluh tahun kita subsidi pupuk? Setahun berapa subsidi pupuk? Rp 33 triliun seingat saya. Return-nya apa? Apakah produksi melompat naik? Saya tanya kembaliannya apa? Kalau tiap tahun kita keluarkan subsidi pupuk sebesar itu kemudian tidak ada lompatan di sisi produksi, ada yang salah,” tegas Jokowi.
Jokowi berhak marah. Selama masa pemerintahannya pada periode pertama (2015-2019), rata-rata anggaran subsidi pupuk mencapai Rp 31,74 triliun. Setiap tahun rerata kenaikannya mencapai 12,48%.
Dengan subsidi sebesar itu, apakah produksi pangan sudah naik seperti keinginan Jokowi (dan seluruh rakyat Indonesia)? Ternyata tidak.
Selama 2015-2019, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan rata-rata produksi padi per tahun adalah 69,94 juta ton. Laju pertumbuhan per tahunnya adalah -4,18%. Pantas Jokowi gusar, wong subsidi pupuk bertambah tetapi produksi malah turun.
Kemudian kedelai. Mengutip data ASEAN Food Security Information System (AFSIS), rata-rata produksi kedelai Indonesia pada 2015-2019 adalah 747.860 ton. Turun dibandingkan rerata lima tahun sebelumnya yaitu 867.260 ton.
Sepanjang 2015-2019, rata-rata pertumbuhan produksi kedelai nasional adalah -5,15% per tahun. Lagi-lagi turun. Padahal lima tahun sebelumnya produksi naik rata-rata 0,18% per tahun.
Lalu jagung. Data AFSIS menyebutkan rerata produksi jagung nasional selama 2015-2019 adalah 25,13 juta ton per tahun. Rerata pertumbuhan produksi ada di 5,88% setiap tahunnya.
Angka-angka ini membaik dibandingkan lima tahun sebelumnya. Pada 2010-2014, rata-rata produksi jagung Tanah Air adalah 18,57 juta ton per tahun. Sementara rerata pertumbuhan produksi adalah 1,66% per tahun.
Dari tiga komoditas pangan utama itu, dua mencatatkan pencapaian yang lebih buruk dan hanya satu yang membaik. Tentu Jokowi tidak akan senang dengan ini, dan sangat wajar jika menuntut ada perbaikan.
Produksi pangan yang belum optimal membuat Indonesia masih mendatangkan dari luar negeri alias impor. Indonesia mungkin bisa mewujudkan ketahanan pangan, tetapi belum kedaulatan pangan.
Untuk beras, rata-rata impor selama 2015-2019 adalah 1,03 juta ton per tahun. Rata-rata volume impor beras naik 105,56% per tahun.
Sementara rata-rata volume impor kedelai pada 2015-2019 adalah 2,49 juta ton per tahun. Melonjak dibandingkan rerata lima tahun sebelumnya yaitu 1,82 juta ton per tahun.
Dengan produksi yang membaik, impor jagung relatif bisa terkendali. Volume impor jagung nasional pada 2015-2019 adalah rata-rata 1,76 juta ton per tahun. Turun dibandingkan rerata lima tahun sebelumnya yaitu 2,56 juta ton per tahun.
Selama 2015-2019, rata-rata impor jagung turun 0,18% per tahun. Jauh membaik ketimbang lima tahun sebelumnya yang melonjak 103,55% per tahun.
Sumber : cnbcindonesia.com