Covid-19 Sebabkan 83% Tenaga Kesehatan Alami Burn Out

0
402
Ilustrasi Tenaga Kesehatan (istimewa)

MANDALAPOS.co.id – Ketua Prodi Magister Kedokteran Kerja sekaligus Pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Dewi Soemarko, mengungkapkan 83 persen tenaga kesehatan di Indonesia berada pada kategori burn out. Burn out merupakan situasi lelah mental dan fisik akibat stres berkepanjangan.

“Mereka mengaku sebenarnya dalam keadaan burn out yang tingkat sedang. Kalau tingkat sedang itu sebenarnya orang sudah bilang ini warning, tolong dong, ini belum jatuh ke burn out tingkat berat,” katanya dalam diskusi virtual yang disiarkan melalui YouTube BNPB, Senin (11/1).

Dokter yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Okupasi Indonesia (Perdoki) ini menyebut data tersebut berdasarkan hasil riset pada Agustus 2020. Riset dilakukan kepada 1.400 responden yang merupakan dokter, dokter spesialis, perawat, bidan, dokter gigi hingga farmasi. Riset dilakukan secara daring karena Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19.

Dewi menyebut, mayoritas tenaga kesehatan yang mengalami born out merupakan dokter umum.

“Kita bilang keletihan emosi, jadi mentalnya capek banget. Kasarnya kalau nyuruh orang ini ndableg, jadi hatinya capek. Itu dialami tenaga-tenaga kesehatan kita,” sambungnya.

Tak hanya mental, tenaga kesehatan juga mengalami mengalami gangguan percaya diri. Berangkat dari hasil riset tersebut, Dewi menyimpulkan tenaga kesehatan di Indonesia membutuhkan pertolongan.

“Jadi rasa percaya diri mulai goyang nih di tenaga kesehatan. Untuk kita itu bahaya. Bahayanya kenapa? Karena tenaga kesehatan harus eksekutor, harus percaya diri. Kalau mereka mulai ragu, itu sebenarnya perlu ditolong,” jelasnya.

Dewi menambahkan, FKUI juga melakukan penelitian soal tingkat kecemasan tenaga kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Hasil penelitian menunjukkan, tenaga kesehatan yang bertugas di ruang Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit mengalami kecematan kategori sedang.

“Jadi artinya sebenarnya mereka cemas. Secara manusiawi iya lah. Dan kita juga lihat risiko mereka untuk jadi cemas itu lebih besar pada orang yang sudah pernah ikut dikarantina. Misal orang sudah pernah covid, itu kecemasaannya jauh lebih besar,” tandasnya.

Sumber: merdeka.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini