Oleh: Ardin, S.Pd (Ketua Umum HMI Cabang Baubau periode 2017-2018)
OPINI – Seberapa penting kehadiran perempuan dalam panggung politik Indonesia? Jawabannya sangat penting. Hal itu karena kaum hawa adalah penentu identitas negara, tulang punggung bangsa. Mereka berkewajiban mempertahankan dan menegakkan kedaulatan negara. Indonesia memiliki catatan sejarah panjang yang menceritakan bagimana aksi-aksi perempuan begitu diperlukan dalam menciptakan kemajuan bangsa dan negara.
Bahkan mereka dinobatkan sebagai pahlawan nasional perempuan Indonesia. Sebut saja di antaranya kita mengenal RA Kartini sebagai tokoh penggerak emansipasi perempuan yang memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Kemudian Martha Christina Tiahahu merupakan salah satu pejuang perempuan yang turut serta berjuang melawan tentara penjajah Belanda. Cut Nyak Dien pahlawan dari tanah rencong Aceh yang bersemangat menumpas penjajahan Belanda. Raden Dewi Sartika mendirikan institusi pendidikan (sekolah) di Jawa Barat untuk meningkatkan martabat perempuan dan masih banyak lagi.
Berkaca pada fakta sejarah di atas, sangat jelas bahwa peran perempuan tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka bahkan rela mengorbankan nyawa demi menjaga harga diri dan martabat bangsa. Kini, kaum perempuan juga dituntut untuk melanjutkan estafet perjuangan para pendahulunya itu pada bidang masing-masing baik sosial, pendidikan, ekonomi, tak terkecuali dalam bidang politik.
Pada perkembangannya, posisi perempuan dalam demokrasi di Indonesia semakin menunjukkan adanya penegasan tentang arti penting kehadiran mereka khususnya di panggung politik. Hal tersebut dapat dibaca dari dukungan undang-undang bahwa peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam politik sudah cukup baik yakni sedikitnya menyediakan ruang 30 persen keterwakilan mereka di parlemen.
Aturan tersebut sejatinya menjadi magnet bagi kaum perempuan untuk terlibat langsung dalam menyumbang ide gagasan bagi kemajuan bangsa dan negara. Bahkan dalam Convention on the Ellimination of all forms of Discrimination Against Woman (CEDAW) tegas dinyatakan bahwa perempuan berhak untuk berpolitik, tidak ada diskriminasi bagi mereka.
Kendati demikian, realisasinya tidak semulus yang dibayangkan. Aturan tersebut acapkali bertabrakan dengan alasan klasik berupa hambatan sosial di lapangan. Dimana aspek sentralitas leadership di tengah masyarakat seolah masih melekat dalam genggaman kaum Adam. Dengan kata lain, persepsi tentang kepemimpinan di benak publik menyematkan ketokohan laki-laki sebagai pemimpin ideal yang seolah sulit dijangkau oleh kaum perempuan.
Ketentuan porsi 30 % keterwakilan perempuan yang diterapkan di Indonesia sejatinya menjadi penyelamat bagi kaum perempuan untuk tampil berkiprah di bidang politik. Sehingga mereka dapat turut andil dalam proses pembuatan kebijakan. Dari aspek struktur penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilu pun memiliki pijakan keadilan secara gender.**