Mengenal Situ Buleud Purwakarta, Mulai Dari Sejarah Hingga Cerita Mistisnya

2
20959

Mandalapos.co.id, Purwakarta – Berlibur ke Purwakarta tidak akan lengkap rasanya jika belum mengunjungi Situ Buleud. Danau yang dilengkapi patung serta air mancur raksasa ini ternyata sudah ada sejak abad ke-18. Sejak mengalami pemugaran dan penataan ulang, danau ini jadi salah satu destinasi wisata kebanggan Purwakarta.

Danau cantik ini selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin menyaksikan pertunjukan air mancur setiap akhir pekan. Selain itu, ada beragam aktivitas lainnya yang bisa dilakukan.

Pada hari Minggu pagi misalnya, banyak sekali warga yang datang baik untuk berolahraga maupun sekedar bersantai menikmati pemandangan alam bersama keluarga.

Sejak awal pembangunannya, Situ Buleud merupakan danau yang diperuntukkan sebagai sumber air dan tempat rekreasi masyarakat Purwakarta. Keberadaan danau ini juga menjadi penyejuk di pusat Kota Purwakarta yang sering dilanda cuaca panas.

Saat ini, Situ Buleud masih memiliki fungsi yang sama, namun dengan beberapa tambahan di sana-sini. Salah satu dekorasi yang mencolok adalah Patung Sri Baduga Mahara di bagian tengah danau serta air mancur yang mengelilinginya.

Tidak dapat dipungkiri pertunjukan air mancur di Situ Buleud merupakan salah satu daya tarik besar bagi wisatawan yang datang ke Purwakarta saat ini. Banyak wisatawan dari berbagai daerah yang sengaja datang untuk menyaksikan air mancur terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Pertunjukan Air Mancur Situ Buleud

Pertunjukan air mancur Situ Buleud hanya bisa disaksikan di malam Minggu dan ketika ada acara-acara khusus. Pengunjung akan melihat jajaran air mancur menari-nari mengikuti irama dengan bias lampu berwarna-warni. Air mancur inilah yang mengukuhkan kawasan ini sebagai landmark Kota Purwakarta yang wajib dikunjungi wisatawan.

Sejarah Situ Buleud

Pembangunan Situ Buleud mulai dirintis pada 1830 oleh pendiri Purwakarta, yaitu R.A. Suriawinata. Antara tahun 1819-1826, pemerintahan Belanda melepaskan diri dari pemerintahan Inggris yang ditandai dengan upaya pengembalian kewenangan dari para bupati kepada Gubernur Jendral Van der Capellen. Dengan demikian, Kabupaten Karawang dihidupkan kembali sekitar tahun 1820, meliputi wilayah yang terletak di sebelah timur Kali Citarum/ Cibeet dan sebelah barat Kali Cipunagara. Dalam hal ini, kecuali Onder Distrik Gandasoli, sekarang Kecamatan Plered, pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung

Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih, yang kemudian diberi nama Purwakarta, purwa berarti permulaan dan karta berarti ramai/hidup. Diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2.

Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, pembangunan Gedung Karesidenan, Pendopo, Masjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega, dan Situ Kamojing. Pembangunan terus berlanjut sampai pemerintahan bupati berikutnya.

Cerita Mistik Situ Buleud

Seorang sesepuh Purwakarta yang juga Sekretaris Musyawarah Bersama Masyarakat Purwakarta dan anggota panitia penelusuran sejarah Purwakarta, R.H. Garsoebagdja Bratadidjaja, menjelaskan, pada zaman dahulu Situ Buleud merupakan tempat “pangguyangan” (berkubang) badak yang datang dari daerah Simpeureun dan Cikumpay serta dijadikan pula tempat minum bagi binatang lainnya.

Situ Buleud terbentuk karena ada mata air ditambah air hujan. Kemudian, pada zaman Belanda diperbesar. Karena dikhawatirkan airnya terus surut, dibuatlah saluran irigasi dari daerah Pasawahan. Selanjutnya, Gar menceritakan sebenarnya Situ Buleud sering dipergunakan untuk acara-acara keramaian besar, seperti memperingati hari ulang tahun Raja Belanda ataupun keramaian lain.

Kemudian dibuat panggung besar di tengah-tengah danaunya dan diadakanlah pesta besar sehingga rerumputan yang ada di sekelilingnya juga terus dipelihara.

Ini terjadi sebelum Perang Dunia II, sedangkan sekarang tidak ada lagi acara tersebut yang biasanya diramaikan dengan acara wayang golek ataupun calung.

Pada zaman Belanda itulah, rakyat jelata tidak boleh menginjak rumput yang ada di sekeliling Situ Buleud karena merupakan tempat atau arena bermain para gegeden Belanda. Untuk menjaganya, dipercayakan kepada seorang upas bernama Sahro lengkap dengan pentungan karetnya. Ia seringkali berteriak-teriak untuk menakut-nakuti anak-anak yang bermain ke wilayah sekitar danau itu. Karena merasa takut dipentungi, anak-anak biasanya terus berlarian. Lebih dari itu, Situ Buleud dulu juga sering dijadikan tempat berenang.

“Namun, sekarang tidak lagi bahkan sekarang suka ada jatuh korban anak-anak yang tenggelam, sedangkan dulu tidak pernah,” ungkap Gar.

Sementara itu, menyangkut cerita berbau mistik, menurut Gar, berdasarkan penuturan orang-orang tua dulu pada setiap subuh anak-anak seringkali bermain di sekitar Situ Buleud. Namun, mereka biasanya langsung berlarian, manakala terdengar teriakan dan di tengah-tengah Situ Buleud muncul secara tiba-tiba bayang-bayang hitam besar.

Bahkan, yang lebih seram lagi sempat pula ada cerita orang tua dulu bahwa di Situ Buleud itu ada “penunggu”-nya yang biasa disebut si Barong, yakni sesosok mahluk menyerupai bentuk kepala singa. Makhluk itu konon suka muncul secara tiba-tiba di tengah Situ Buleud.

“Bila ada orang yang kawenehan (kebetulan melihat-red.), akan terlihat sosok kepala singa besar,” ungkap Garsubagdja.

Istana Megah

Sementara itu, seorang warga sekitar Situ Buleud bernama Andang (27), yang merupakan warga asli di sekitar danau tersebut, menceritakan, dulu sebagaimana diceritakan orang tuanya Situ Buleud memang merupakan tempat berkubang badak.

Pada zaman Belanda diperbaiki dan dijadikan arena kegiatan hiburan. Ia juga mengetahui banyak cerita mistik di Situ Buleud. Menurutnya, bila kita punya “ilmu”, ketika masuk dari pintu gerbang utama langsung terlihat berdirinya sebuah istana megah.

Pernah juga ada cerita bahwa suatu saat danau itu akan dikeringkan untuk diambil ikannya (bahasa Sunda = dibedahkeun-red.). Pada malam hari sebelum danau itu dikeringkan, secara kebetulan jatuh pada malam Jumat, menurut cerita banyak ikan besarnya yang berjalan menuju sungai di sekitarnya. “Katanya, ikan itu merupakan ikan kajajaden atau bukan sembarang ikan,” ungkapnya.

Ada pula cerita, hampir setiap tahun selalu saja ada korban manusia yang menjadi wadal (tumbal-red.) karena ada cerita bahwa danau itu ditunggui oleh Mbah Jambrong. Pada beberapa bulan lalu sempat pula ada seseorang yang menangkap ikan menggunakan jala, lalu tersangkut dan tercebur ke dalam danau hingga meninggal.

Bahkan sebelumnya, banyak cerita yang dihubung-hubungkan dengan mistik seperti meninggalnya seorang pengusaha yang menyewa danau itu untuk dijadikan tempat rekreasi.

“Selain itu, ada juga cerita tentang rumah peninggalan Belanda di sekitar danau yang sempat disewa oleh produser film ‘Rojali dan Juleha’ selama dua bulan, namun baru sebulan langsung hengkang. Pasalnya, banyak artisnya yang tidak tahan banyak yang pingsan dan kerasukan,” ujarnya. *** moch Indrawan

2 KOMENTAR

  1. Tempat ngabuburit jaman kecil di situ buleud, selain mancing juga mungut Asem. pernah ada yang jatuh dari pohon Asem tertusuk pagar besi. Narasumbernya Kepala Sekolah saya itu Alm Pak Subagja orang kritis terhadap pembangunan kota purwakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini