Oleh: Syafrizan / Mahasiswa Prodi Magister Manajemen, Universitas Muhammadiyah Malang
Masyarakat Melayu Natuna adalah salah satu masyarakat yang masih menjaga adat budaya warisan para leluhur hingga saat ini.
Muci salah satu tokoh masyarakat Natuna mengatakan salah satu tradisi yang masih dipertahankan adalah tradisi makan haul, ritual ini dilaksanakan pada saat salah satu anggota keluarga meninggal dunia, mulai pada malam kesatu, dua, tiga atau ketujuh hari kematian bahkan hingga 100 hari kematian.
Bagi masyarakat melayu Natuna, kematian tidak sekedar persoalan keluarnya ruh dari raga, tetapi juga merupakan peristiwa sakral yang menjadi pintu masuk manusia ke alam selanjutnya.
Kematian bukan akhir dari perjalanan hidup manusia, tetapi ia adalah awal dari kehidupan yang lain. Sebagai awal dari sebuah kehidupan baru.
Tradisi nenek moyang sulit untuk ditinggalkan walaupun tidak lagi sepenuhnya diikuti, ini membuktikan bahwa sisa-sisa dari kepercayaan dan kebudayaan lama masih ada dalam kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi. Tradisi kepercayaan lama dalam kematian misalnya, masih dipegang erat oleh sebagian masyarakat Islam dapat dijumpai sekarang ini di Natuna.
Kepercayaan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa hadiah yang disedekahkan tersebut akan diterima oleh orang yang di doakan di alam kematian bagi yang sudah meninggal.
Berbicara masalah amalan tentu sudah jelas tatacaranya diatur dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Sementara itu Tokoh Muhammadiyah Natuna, Khairullah mengatakan bahwa kematian adalah peristiwa yang memerlukan bekal untuk menopang kehidupan barunya. Apa saja bekal yang harus dipersiapkan dan bagaimana mem persiapkan bekal mati tersebut sepenuh nya sesuai perintah Allah melalui yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Mungkin kita pernah mendengar keutamaan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Sebab, itu kalimat yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits. Perbuatan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dalam bahasa Arab disebut Tahlil. Kalau ke indonesia biasanya ditambah imbuhan an menjadi tahlilan. Sebagaimana khitan kalau ke indonesia ditambah imbuhan an menjadi khitanan.
Nah, kalau maksud tahlilan adalah seperti yang sudah disebutkan, maka tentu saja tidak ada yang meragukan keutamaannya. Karena siapa yang memperbanyak mengucapkan kalimat tauhid tentu terpuji.
Namun, jika maksud dari tahlilan diperuntukkan dengan Satu, dua, tiga hingga tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, bagaimana hukumnya?
Merujuk sikap resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang tradisi acara tahlilan dalam rangka upacara kematian dan apa hukum menghadiri undangan acara tersebut dengan alasan kerukunan sebagai warga masyarakat.
Setelah menyebutkan ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaan berdzikir kepada Allah dan keutamaan tahlil (mengucapkan Laa Ilaaha Illlallah) dan bahwasanya itu merupakan ibadah yang sangat baik.
Dan setelah menyebutkan bahwa Laa Ilaaha Illallah itu tidak cukup diucapkan dan dilafalkan saja tanpa menghadirkannya di hati dan tanpa merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu memperbanyak amal salih dan meninggalkan segala macam syirik.
Dan setelah menyebutkan bahwa membaca tahlil tidak ada manfaatnya jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membacanya ribuan kali. setelah menekankan bahwa yang sangat penting sebenarnya adalah bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maka majlis tarjih Muhammadiyah pun berkata :
Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya.
Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam.
Apalagi, upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/ melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/ makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa.
Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi Muhammad SAW menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum.
Perlu diketahui pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW untuk menyelenggarakan upacara atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada kubur agar diketahui siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam’i al-Mauta fi Qabr, Juz 9, hlm. 22), mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu Dawud dari ‘Utsman ibn ‘Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi Dawud, Bab al-Istighfar ‘inda al-Qabr lil-Mayyit, Juz 9, hlm. 41) dan dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami, Bab Bayan Ma Kana min an-Nahyi , Juz 13, hlm. 113).
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan :
Pertama, Sikap yang harus diambil adalah menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang ma’ruf (mauidlah hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar Muhammadiyah pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.
Kedua, Dalam menjaga hubungan bermasyarakat, menurut hemat kami tidaklah tepat jika tolak ukurnya hanya kehadiran pada upacara hajatan kematian. Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti rapat RT, kerja bakti, ronda malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga perlu mendapat perhatian. Dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, insya Allah, ketika kita hanya meninggalkan satu kegiatan saja (tahlilan/ hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi oleh masyarakat di mana kita tinggal.
Ketiga, Mengenai makan dan minum pada perjamuan tahlilan, sekalipun makanan dan minuman tersebut berasal dari para warga RT, namun tetap saja dapat digolongkan pada perbuatan tabzir, sehingga layak untuk ditinggalkan