MANDALAPOS.co.id, JAKARTA – Nama Prof. Dr. H. Hatta Ali, S.H., Mhum beberapa hari terakhir makin moncer. Ini lantaran mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) itu disebut dalam dakwaan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Tapi buru-buru kabar tak sedap itu pun terkikis dengan sendirinya. Muncul kesan ada skenario besar yang dibuat. Motif menjatuhkan ini pun, didapat dari klarifikasi yang diutarakan Pinangki.
Lalu siapa pemainnya? Dan apa sebenarnya tujuannya? Belum selesai dua pertanyaan ini terjawab, buru-buru Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang tengah terlilit dalam kasus Djoko Tjandra pun membantah.
Bantahan ini pun sejalan dengan, pernyataan Pinangki melalu surat eksepsi yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
”Penyebutan nama pihak-pihak tersebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan,” kata pengacara Pinangki, Jefri Moses membacakan eksepsi, Rabu (30/9).
Sebelum masuk lebih dalam isi dari eksepsi yang diutarakan Pinangki, mungkin publik belum mengetahui secara detail tentang siapa itu Hatta Ali.
Dari beberapa sumber yang digali, berdasarkan rilis Siberindo.co, Hatta Ali memang dikenal sebagai sosok yang tegas dan pemberani. Luwes, cermat dan tak bertele-tela dalam sisi apa pun.
Ia pensiun menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) pada 7 April 2020 karena telah berusia 70 tahun. Dan secara admistrasi purna bhaktinya jatuh pada 1 Mei 2020.
Selama mengabdi 42 tahun di lembaga peradilan, pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 7 April 1950 ini pernah menimba ilmu di Universitas Padjajaran, Bandung, Universitas Airlangga, Surabaya dan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Karier di dunia hukum digelutinya sejak 1978. Tepatnya sejak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Hukum dan HAM yang dulu bernama Departemen Kehakiman.
Kembali ke persoalasan, muncul dalam Kesaksian Pinangki, Pengacara Pinangki, Jefri Moses Jefri mengaku ada pihak yang sengaja ingin mempersalahkan kliennya atas munculnya nama-nama tersebut.
Seolah nama-nama itu muncul atas kesaksian Pinangki.
”Terdakwa sejak awal dalam penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah,” kata dia.
Jefri mengatakan Pinangki hanya mengenal Hatta Ali sebagai mantan Ketua MA. Sedangkan, Burhanuddin hanya dikenalnya sebagai atasan di Kejaksaan Agung.
”Namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau,” kata dia.
Keterangan Jaksa Sebelumnya, nama Burhanuddin dan Hatta Ali muncul dalam surat dakwaan jaksa. Kedua nama pejabat itu muncul dalam action plan yang disodorkan Pinangki ke Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa bebas.
Ada sepuluh tahapan dalam rencana yang dibuat Pinangki itu, termasuk aktifitas surat menyurat antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Hatta Ali.
Jaksa menyebut action plan itu dibanderol seharga US$ 100 juta. Djoko menolak harga yang ditawarkan Pinangki. Ia hanya menyetujui US$ 10 juta.
Sebagai uang muka, Djoko Tjandra kemudian menyerahkan US$ 500 ribu kepada Pinangki.
”Terdakwa dan Andi Irfan Jaya, menyerahkan dan memberikan penjelasan mengenai rencana berupa action plan yang akan diajukan kepada Djoko Tjandra,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9).
Penyerahan proposal itu dilakukan pada pertemuan di Malaysia pada 25 November 2019.
Dalam proposal yang diajukan itu, tercantum 10 aksi yang akan dilakukan dalam pengurusan fatwa MA untuk Djoko. Proposal ini dibanderol US$ 100 juta, namun belakangan Djoko hanya menyanggupi US$ 10 juta.
Aksi pertama yang disusun Pinangki dkk adalah penandatanganan Akta Jual Beli pada 13 Februari hingga 23 Februari 2020.
Akta ini akan dipakai sebagai kamuflase pembayaran uang dari Djoko.
Kedua, pengiriman surat dari pengacara kepada Burhanuddin berisi permohonan fatwa MA. Tahap ini direncanakan dilakukan pada 24 hingga 25 Februari 2020.
Aksi ketiga, Burhanuddin mengirimkan surat kepada Hatta Ali yang ketika itu masih menjabat Ketua MA. Aksi ketiga direncanakan dilakukan pada 26 Februari hingga 1 Maret 2020.
Aksi keempat adalah pembayaran 25 persen komitmen fee kepada Pinangki sebayak US$ 250 ribu yang akan dilaksanakan pada 1 hingga 5 Maret 2020.
Tahap kelima, Hatta Ali menjawab surat permohonan dari Jaksa Agung mengenai permintaan fatwa. Tahap ini direncanakan terlaksana pada 6 sampai 16 Maret 2020. Tahap ketujuh, Burhanuddin menerbitkan isntruksi terkait surat dari Hatta Ali.
”Yang dimaksudkan oleh terdakwa adalah Kejaksaan Agung menginstruksikan pada bawahannya untuk melaksanakan fatwa MA,” kata Jaksa.
Tahap kedelapan, Djoko membayar US$ 10 juta melalui Security Deposit Box pada Maret hingga April 2020. Tahap kesembilan, Djoko Tjandra kembali ke Indonesia pada Mei 2020.
Tahap terakhir adalah pembayaran sisa jasa konsultan kepada Pinangki sebesar US$ 250 ribu.
Jaksa mengatakan pada akhirnya rencana ini dibatalkan oleh Djoko Tjandra. Sebab, hingga Desember tak ada satupun rencana itu yang sudah terlaksana.
Luruskan Penafsiran, Hatta Ali, telah menulis surat terbuka sebagaimana beredar dalam rilis berita SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Pusat, Kamis (24/9).
Inilah Isi Surat terbuka yang disampaikan:
Assalamualaikum ww – Kepada para senior dan para sahabat yang saya banggakan dan cintai perlu saya memberi klarifikasi tentang kasus JT.
Sebenarnya klarifikasi saya ini sudah saya sampaikan melalui jubir MA dan telah ditindak lanjuti tetapi ya begitulah masih ada juga media yang masih menggoreng goreng tidak sesuai fakta seutuhnya yang saya sampaikan sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang lain terutama yang non hukum.
Demi lengkapnya saya teruskan saja klarifikasi dan saya tersebut untuk disimak. Selanjutnya bagi yang memfitnah atau menjual jual nama saya semoga Allah swt mengampuninya dan digerakkan hatinya untuk berkata yang benar insyaa Allah pahalanya jatuh ke saya. Aamiin yra. Tks atas perhatiannya.
Menunjuk surat pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh Majalah Tempo tertanggal 10 Sept 2020 melalui Jubir MA, dengan ini kami memberi klarifikasi sbb:
Saya tidak pernah kenal dengan yang namanya Jaksa Pinangki maupun Andi Irfan Jaya yg dikatakan dari partai Nasdem, dimana keduanya dikatakan membuat action plan dalam pengurusan Fatwa di MA untuk kepentingan JT .
Sedangkan pengacara Anita Kolopaking adalah teman se alumni S.3 di Unpad, selain itu Anita sebagai salah satu anggota ALA ( Asean Law Association ) yang ikut sebagai salah satu peserta delegasi dalam konferensi ALA di Phuket Thailand.
Sehingga dengan sendirinya pasti ketemu dengan Anita dlm kegiatan tsb, tetapi tidak ada pembicaraan tentang kasus JT.
Selama saya menjabat KMA memang pernah menerima Jaksa Agung SB di Kantor MA dalam rangka courtesy call untuk memperkenalkan diri sebagai pejabat yang baru dilantik oleh Presiden RI.
Courtesy call semacam ini adalah suatu tradisi sesama penegak hukum. Kunjungan tersebut di atas sangat singkat dan sama sekali tidak membicarakan perkara apalagi perkara JT.
Mengenai fatwa MA yang dijanjikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, adalah hal yang sangat mustahil karena MA tidak pernah sekalipun mengeluarkan fatwa yang bersifat tehnis untuk membatalkan atau mengoreksi keputusan PK. Permohonan fatwa itu sendiri tidak pernah diterima di MA.
Kemudian sebagai info bahwa saya bertindak sebagai salah satu Hakim Anggota dalam perkara permohonan PK yang diajukan oleh JT, perkara no.100 PK/Pid. Sus/2009 tanggal 20 Februari 2012 yang antara lain amar putusannya: Menolak permohonan PK dari pemohon PK/terpidana Jhoko Sugiarto Chandra. Jadi adalah mustahil juga bahwa MA/saya akan menerbitkan fatwa MA yang akan membebaskan atau menguntungkan terpidana JT.
Selanjutnya karena beberapa terpidana yang melarikan diri/buron pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap termasuk diantarannya terpidana JT, maka sewaktu saya menjabat KMA terhitung 1 Maret 2012 telah menerbitkan SEMA NO.1 tahun 2012 tertanggal 28 Juni 2012. SEMA ini pada intinnya menyatakan bahwa permohonan PK dalam perkara pidana(dalam sidang pemeriksaan permohonan PK di Pengadilan Negeri) harus dihadiri oleh terpidana/ahli warisnya secara lagsung, tidak bisa hanya dihadiri oleh kuasa hukum. SEMA ini sampai sekarang masih dipedomani oleh para hakim pada pengadilan.
Kemudian mencuatnya perkara JT ini setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan PK lagi sekitar bulan Juni/Juli 2020 yakni setelah saya memasuki masa pensiun pada tanggal 7 April 2020.
Jika dalam perkara ini ada oknum-oknum yang menjual nama saya ataupun orang lain menjadi tanggung jawab hukum yang bersangkutan.
Harapan saya semoga perkara tindak pidana korupsi ini menjadi terang dan jelas siapa yang salah dan benar.
Terima Kasih
Hormati dan Menjaga Para Pengabdi
Dari ringkasan kronologi dan pernyataan dari berbagai pihak, Ketua Umum SMSI Pusat Firdaus menyebut apa yang digambarkan dalam proses hukum yang telah memperlihatkan titik terang. Meski pun, semua dikembalikan pada ranah hukum sebagai pijakan.
”Jika dikaitakan ada pihak yang menggerakan dan mencoba memunculkan nama-nama itu (Hatta Ali, Red). Media sebagai perangkum informasi, tentu juga diharapkan memberikan keseimbangan berita dari informasi yang ada. Maka pentingnya klarifikasi dan tidak men-justifikasi lebih dulu, sebelum ada ketuk palu majelis,” jelasnya kepada Siberindo.co.
Ditambahkan Firdaus, publik bisa membaca secara detail dari uraian Jaksa Pinangki, pemaparan jaksa dan penjelasan dari Hatta Ali yang diklarifikasi dalam surat terbuka.
”Tentu ini harus kita hormati. Dan semua tentu berharap, kebenaran akan berpihak pada kebenaran, itu yang selalu kita gaungkan dan praktikan,” tutur Firdaus.
Laporan: RED