Penulis : La Ode Samlan, S.KM ( Alumni PMII Cabang Bau-Bau)
OPINI — Pemerintah secara rutin mengadakan pemilu dan pilkada untuk melakukan pergantian kekuasan setiap lima tahun sekali. Pemilu dan pilkada merupakan hal yang prinsipal dalam pesta demokrasi, karena setiap warga negara secara sadar menyalurkan hak pilihnya.
Untuk peserta pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik, tetapi yang paling utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat.
Pemilihan umum lahir dari konsepsi dan gagasan besar Demokrasi yang berarti merujuk pada John Locke dan Rousseau, keterjaminan kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi individu dalam segala bidang. Dalam demokrasi, ada nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh warga negara dan instrumen negara baik pada level legislatif, yudikatif maupun eksekutif.
Hubungan antara warga negara dan negara meskipun masih berjarak namun dapat difasilitasi oleh berbagai lembaga dan elemen masyarakat, karena adanya kebebasan bagi semua pihak untuk ikut serta secara aktif dalam pembangunan nasional, baik pembangunan politik maupun bidang-bidang lainnya.
Masyarakat diberikan ruang untuk berperan aktif dan menjadi bagian dari proses demokrasi. Meskipun secara substansial, keikusertaan mereka masih cenderung prosedural dan momentum.
Pemilihan langsung dan kebebasan berpendapat serta kebebasan berpolitik bagi setiap warganya saat ini masih menyisakan banyak persoalan dari perspektif kejujurannya.
Kekuasaan menjadi pemimpin daerah atau nasional tidak terlepas dari adanya sifat-sifat transaksional yang membutuhkan pada kekuatan modal, sehingga terjadi suatu korelasi yang sangat jelas di mana kekuatan modal menjadikan indikator kuat dalam meraih dukungan, khususnya untuk mendapatkan kursi dari partai yang mengusung.
Dalam hal tersebut, kekuasaan dan uang seakan menjadi sebuah kovalen yang juga memiliki fungsi sosial, di mana menjadi fungsi acuan rata-rata bertingkah laku untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga, kelompok, masyarakat, hingga organisasinya.
Di Indonesia, Politik transaksional disamakan dengan politik uang, ada yang menjual dan ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama.
Jika dalam jual-beli alat pembayarannya berupa uang tunai. Pada praktik politik, jika terjadi politik transaksional, ada yang memberi uang dan ada penerima uang dalam transaksi politik tersebut.
Meskipun begitu, tidak selalu uang yang digunakan dalam transaksi politik, dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
Politik transaksional merupakan suatu pembagian kekuasaan politik atau pemberian dalam bentuk barang, uang, jasa, maupun kebijakan tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi seorang atau lebih dan untuk mendapatkan keuntungan tertentu berdasarkan kesepatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo, pada saat memberikan sambutan dalam acara Rakornas Evaluasi Hasil Pengawasan Pilkada 2020 di Jawa Timur, menyatakan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaporan politik uang dalam Pilkada serentak 2020 tergolong tinggi.
Dari data penanganan dugaan pelanggaran politik uang yang berjumlah 262 kasus yang telah sampai pengkajian dan penyidikan, terdapat 197 laporan masyarakat dan 65 kasus merupakan temuan Bawaslu. Angka penanganan politik uang tersebut dikumpulkan hingga 17 Desember 2020.
Implikasi dari politik transaksional akan melanggengkan budaya korupsi dan donatur politik dapat memuluskan bisnisnya serta mendapat tempat strategis dalam pemerintahan. Singkatnya, praktik politik ini akan menghasilkan pemimpin yang melayani kepentingan kelompok bukan menjadi pelayan rakyat. Karena ketika kemenangan diperoleh, muncul pola korupsi baru yang dilakukan kelompok elit baru hasil pemilu atas APBN atau APBD. Pada akhirnya masyarakat menjadi korban keserakahan dan kesewenang-wenangan penguasa yang sudah terlindungi kebijakan pro penguasa dan oligarki.
Politik transaksi menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus tanpa ada pencegahan atau upaya yang dilakukan oleh pihak Bawaslu sebagai Lembaga pengawas pemilu, maka ini akan membuka ruang bagi calon yang haus akan kekuasaan dengan minim gagasan untuk melakukan transaksi politik.
Transaksi politik dapat berupa uang, imbalan, jabatan tertentu, dan berupa barang sebagai stimulus mencari suara. Tentu kesadaran masyarakat sangat diperlukan dengan melakukan pengawasan dan bijak dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin ke depan, dengan visi misi membangun daerah yang lebih manusiawi bukan dengan melanggengkan oligarki atau pemimpin yang korup.
Dalam menghadapi pesta demokrasi 2024, tentu banyak beragam modus partai politik (parpol) menghalalkan berbagai macam cara ditempuh setiap bakal calon untuk mempengaruhi masyarakat, baik itu pada momen Pemilu maupun Pilkada untuk mendapatkan suara rakyat.
Meski aturan UU No 7 tahun 20217 mengatur jalan Pemilu dan bahkan aturan mengikat baik itu pelanggaran kode etik, pelanggaran admitrasi dan tindak pidana, namun di lapangan sering ditemui berbagai modus politik diantaranya politik uang, tawaran jabatan serta transaksi politik lainnya seperti pembagian sembako, kerudung, sajadah, helm, bibit tanaman, dan door prize, hingga sumbangan tempat ibadah dan jalan, serta ada juga insentif kepada kepala desa, tokoh masyarakat, dan pemuka agama, mentraktir makan pemilih secara massal, pengobatan gratis, dan modus-modus lainnya.
Olehnya itu, upaya pencegahan politik transaksional pada Pemilu 2024 bukan hanya tugas penyelenggara KPU, Bawaslu atapun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Namun, tugas tersebut adalah tanggung jawab seluruh pihak atau unsur komponen masyarakat dengan kesadaran terpanggil turut serta terlibat mengawasi dalam mewujudkan pelaksanaan Pemilu sesuai amanah UU 1945 berlandaskan pada asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber Jurdil) dalam mensukseskan pesta demokrasi.**