MANDALAPOS.co.id, Anambas– “Belum ke Anambas jika belum ke Keramat Siantan”. Kata-kata tersebut menarik perhatian Nario, warga Kota Padang, Sumatera Barat, yang tengah berkunjung ke Kabupaten Anambas. Didampingi Kepala Desa Teluk Siantan dan sesepuh desa, Nario dan rekannya mendatangi keramat tak bernama yang berada di pulau kecil dekat Dusun Air Nangak, Desa Teluk Siantan itu.
“Kita mau ziarah dan permisi lah karena kami pendatang masuk ke Tarempa,” kata Nario kepada mandalapos.co.id, Kamis, 18 Februari 2021.
Ditempat yang sama, Muhammad Sani sesepuh Dusun Air Nangak, mengaku tak banyak yang bisa dirinya ceritakan terkait sejarah pada makam tak bernama itu. Namun katanya, keramat yang kini dikenal dengan nama Keramat Siantan, sudah ada jauh sebelum adanya dusun Air Nangak tempat kelahirannya.
“Belum ada kejelasan sejarahnya, orang tua kita dulu atuk dan nenek tak ada cerita ke kita, namun yang kami tahu ada hubungannya dengan Suku Bugis,” tutur Sani.
Simpang siur kisah munculnya keramat siantan pun membuat lahirnya versi cerita beragam, salah satunya kisah yang mengatakan, pulau yang kini terdapat makam keramat itu dulunya merupakan kapal yang karam, kemudian berubah menjadi pulau. Memang, jika diperhatikan dengan seksama, kawasan pemakaman itu menyerupai bentuk kapal.
Rumornya, dahulu kala makam tersebut juga memiliki papan nisan nama, namun hilang secara gaib entah kemana. Karena rumor itulah, aura mistis kian kental dan semakin dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Masih penasaran dengan kisah Keramat Siantan, mandalapos.co.id pun coba menelusuri hingga akhirnya mendapat informasi di salah satu blog, di kutip dari buku “Percikan Sejarah Riau” yang bersumber dari Kitab Silsilah Melayu Bugis, karangan Raja Ali Haji (Pengarang Gurindam Dua Belas) yang terkenal hingga sekarang. Dikisahkan pada masa pemerintahan Datuk Kaye Dewa Perkase, ada seorang kepala Lanun yang menjadi tangan kanannya.
Namanya Nakhoda Alang, Ia adalah Panglima Kerajaan Johor yang berkhianat kepada Sultan dengan cara bersekutu dengan lanun-lanun Laut Cina Selatan. Sewaktu Pengkhianatannya diketahui oleh Sultan, maka ia melarikan diri mengikuti lanun-lanun Laut Cina Selatan yang menyerang pantai Negeri Johor, tetapi dapat dikalahkan oleh Laksamana Johor.
Maka sejak saat itu, Nakhoda Alang mengikuti terus lanun itu ke Gunung Kute dan menetap disana. Kemudian oleh Datuk Kaye Dewa Perkase, Ia diangkat menjadi salah seorang kepala atau panglima dan akan memimpin lanun-lanun itu untuk mengadakan aksi perampokan selanjutnya. Di lain pihak (pihak Kerajaan Johor), telah mempersiapkan diri untuk mengadakan penumpasan terhadap lanun-lanun yang telah bersekutu dengan Nakhoda Alang.
Untuk itu Sultan Johor meminta bantuan kepada Opu-opu Lima Bersaudara yang berasal dari Bugis, yaitu, Daeng Malewa, Daeng Penambun, Daeng Perani, Daeng Kemas, dan Daeng Mampawa. Oleh Opu-opu Lima Bersaudara itu, tugas penumpasan diserahkan kepada Daeng Malewa.
Waktu itu mereka bertemu dengan pasukan Kerajaan Johor yang di Pimipin oleh Daeng Malewa. Hingga terjadilah pertempuran antara lanun-lanun Laut Cina Selatan dengan pasukan Kerajaan Johor dibawah pimpinan Daeng Malewa. Dalam pertempuran itu, Nakhoda Alang tewas. Akhirnya para lanun itu melarikan diri membawa pulang mayat Nakhoda Alang.
Sewaktu mengetahui Nakhoda Alang telah tewas oleh pasukan Kerajaan Johor, bukan main sedihnya Datuk Kaye Dewa Perkase. Kemudian Datuk Kaye memerintahkan kepada para pengikutnya untuk membuat kubur Nakhoda Alang lebih besar dari pada kuburan lanun – lanun lainnya, serta kuburannya harus dimuliakan.
Menurut kebiasaan para lanun itu, apabila ada diantara mereka yang meninggal dalam melakukan aksinya (merampok), maka mayatnya harus dibawa pulang dan dikuburkan berbeda dari orang-orang yang mati secara biasanya, yakni di Pulau “KERAMAT PULAU SIANTAN” sekarang. Mereka menganggap yang mati sebagai Pahlawan sehingga kuburannya dihormati dan dimuliakan serta dianggap sebagai keramat.
Keramat Siantan inilah yang diduga sebagai Kuburan Nakhoda Alang dan kuburan para Lanun Gunung Kute yang tewas sewaktu merampok di laut. Diantara sekian banyak kuburan disitu, hanya sebuah kuburan saja yang dianggap keramat, yaitu kuburan yang paling besar dari pada kuburan yang lainnya. Kuburannya bertembok dengan batu karang setinggi lebih kurang 70 cm. Itulah kuburan Nakhoda Alang yang disebut Keramat Pulau Siantan.
Terlepas dari benar atau tidaknya sejarah Keramat Siantan dalam kisah pada buku “Percikan Sejarah Riau”, merawat dan menjaga destinasi religi seperti Keramat Siantan sudah sepatutnya dilakukan. Terlebih menjadikan Keramat Siantan sebagai cagar budaya adalah hal yang tepat untuk menjaganya tetap utuh dari masa ke masa.
Keramat Siantan kini menjadi salah satu destinasi wisata religi dan budaya Desa Teluk Siantan, hal inilah yang membuat pemerintah desa setempat berharap Pemda Anambas memberi perhatian. Memang tak dapat ditampik, sudah 3 tahun berturut-turut pelantar beton menuju Keramat Siantan mendapat guyuran APBD kabupaten terdepan Indonesia itu.
Namun, kawasan sekitar makam masih belum tersentuh perawatan sehingga terlihat rusak dan semakin menambah suasana angker.
“ Ini ikon Kabupaten Anambas, seperti yang disampaikan pengunjung ‘belum ke Anambas jika belum ke Keramat Siantan’, ini menandakan bahwa kramat ini bukan hanya milik desa, tapi milik kabupaten,” kata Kepala Desa Teluk Siantan, Ismaya Lokadi.
Tak banyak yang diharapkan Ismaya kepada Pemda Anambas, Dia hanya meminta agar dilakukan pemugaran dan perbaikan areal makam agar pengunjung Keramat Siantan merasa aman dan nyaman.
Apalagi dibeberkannya, sudah ada beberapa pengunjung dari luar Kabupaten Anambas yang datang ke Keramat siantan, bahkan dari luar negeri seperti dari Malaysia dan Singapura.
***red-Yahya