mandalapos.co.id, Natuna- Tuhan menyisipkan sebuah daratan kecil di pagar Bumi Nusantara, dia adalah Natuna. Wilayah Kepulauan Indonesia paling utara di Selat Karimata, yang berbatasan langsung dengan beberapa negara di Asia Tenggara.
Meskipun bagai titik dalam globe dunia, Natuna dikaruniai geografis dan sumber daya alam istimewa. Berkat posisinya jua, daerah berjuluk ‘Laut Sakti Rantau Bertuah’ ini, di masa lampau menjadi tempat berlabuh para penjelajah dunia, dari berbagai generasi dan dinasti.
Sayang, di masa kini jejak sejarah itu kalah gaung, oleh potensi Minyak dan Gas di Laut Natuna Utara. Tak ayal banyak orang mengenal Natuna sebagai daerah penghasil Migas, nyatanya ada secuil ‘surga’ di teras Indonesia ini.
Surga Natuna masih ‘perawan’, karena memang belum sepenuhnya terjamah pembangunan. Apalagi, setelah menyandang status Geopark Nasional Indonesia, Natuna wajib berpilar pada aspek konservasi, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan penumbuhan nilai ekonomi lokal melalui geowisata. Jadi, 20 tahun mendatangpun kita akan melihat wajah Natuna yang tetap asri dan alami.
Pose eksotis Natuna, sebenarnya sering wara-wiri di media sosial. Namun, ‘berdosa’ rasanya, jika kita tidak menikmati langsung nikmat Tuhan di negeri sendiri.
“Alamnya elok indah menawan, penduduk ramah penuh senyuman, lautan sakti rantau bertuah, kurnia ilahi makmur bermarwah. Adat budaya selalu terjaga, jadi pesona idaman dunia, harum Natuna wangi nirwana, cahaya mutiara ujung utara. Indonesia, wonderfull Natuna.”
Itulah penggalan bait lagu berinstrumen kental melayu, berjudul ‘Wonderfull Natuna’. Kidung mempromosikan wisata di negeri ujung utara ini, menemani perjalanan untuk mengintip lebih dekat jelita surga Geopark Natuna, Ahad sore 20 Juni 2021 kemarin.
Geosite Geopark Batu Kasah di Desa Cemaga Utara. Lokasi perdana yang jadi ‘korban’ saat penjelajahan ini, menyajikan spot indah dan menggoda di setiap sisi. Berjarak antara 25 – 30 km, butuh sekitar 45 menit berkendara dari kota Ranai untuk mencapainya.
Tiba disana, suguhan pemandangan bebatuan granit raksasa, tampak serasi dengan laut biru dan hijaunya pepohonan kelapa. Di atas bebatuan terlihat gadis-gadis remaja tengah beswafoto. Berbedak tebal dan bibir bergincu, mereka berpose tanpa malu, meski sesekali warga sekitar mencuri pandang ke arahnya, sambil tersenyum.
Hari libur, Batu kasah memang tak pernah sepi oleh penggemarnya. Bersyukur, Natuna masih berstatus zona hijau covid-19. Meski demikian, protokol kesehatan tetap diutamakan di destinasi yang dibuka pada tahun 2003 ini.
Batu kasah, juga membuat penasaran bagaimana asal penyematan nama tersebut. Beruntung, bisa bertemu langsung dengan warga yang merupakan perintisnya.
“Konon, dulu disini kawasan Ksatria atau orang sakti mengasah pedang. Jadi kami gabung antara kawasan dan asah menjadi “kasah”. Batu asahnya ada diarah selatan kawasan ini,” terang Abdilah, si perintis batu kasah.
Sempat tergelitik, ketika pria paruh baya itu bercerita pernah dibilang “gila”. Lantaran membuka wisata di areal angker menurut warga. Namun lambat laun, pemikiran itu berubah seiring ramainya pengunjung Batu Kasah.
Si putera daerah ini pun mensyukuri, kini berbagai bantuan datang memprasaranai Batu Kasah. Seperti yang dilakukan oleh SKK Migas bersama KKKS yang beroperasi di Natuna yakni Medco Energi dan Premier Oil.
“Kemarin kita dapat panel penunjuk arah, terus panel informasi kawasan situs geosite. Tahun ini kita mengajukan kamar bilas, wc, dan bak penampung air. Itu prioritasnya,” kata Abdillah.
Memang benar yang dikatakan Abdillah, Perusahaan Migas di Natuna tunjukkan perhatiannya. Dimana perusahaan ini sangat peduli dengan upaya daerah mengembangkan Geopark atau Taman Bumi Natuna. Contohnya, melalui program Tanggung Jawab Sosial, mereka membantu sarana penunjang pada geosite-geosite di geopark.
Belum puas hanya mengunjungi Batu Kasah, ada sebuah magnet untuk kembali menyusuri bagian lain geosite Geopark Natuna. Kini, tak perlu berkendara jauh, karena letaknya hanya 3 kilometer dari Kota Ranai, Bukit Senubing namanya.
Bak di film action, susah payah memanjat bebatuan granit dari periode zaman kapur akhir berusia 125-65 Juta Tahun lalu. Namun terbayar, seketika melihat pemandangan lekuk eksotis semenanjung Senubing, yang dipagari bebatuan bermacam ukuran. Dihadapan Senubing pula, terlihat geosite Pulau Senua menyapa dari kejauhan, dipisahkan lautan biru tenang.
Duduk diatas bebatuan, Sayapun terbayang cuplikan film ”Jelita Sejuba” . Film berlatar belakang Natuna , menceritakan Syarifah perempuan asli Natuna jatuh cinta kepada seorang tentara bernama Jaka. Diatas bebatuan Senubing lah , Syarifah termenung menunggu kepulangan Jaka yang bertugas untuk negara.
Lain cerita Syarifah dan Jaka, lain pula legenda bujang dan dara yang menghiasi Bukit Senubing. Dua insan saling mencinta, Sang lelaki berasal dari Senubing, dan Sang perempuan berasal dari Dusun Tanjung Datuk ,kini Geosite Tanjung Datuk. Kedua nya hampir menikah, namun karena pasal mencela makanan, kisah baik berubah menjadi sumpah serapah.
Kata teman Saya warga asli Natuna ,Suparman , konon jika berada di Bukit Senubing pantang mengucapkan Tanjung Datuk, atau sebaliknya jika berada di Tanjung Datuk dilarang menyebut Bukit Senubing, Karena akan menimpakan bala alias kesialan bagi yang mengucapkannya.
“Petuah orang tua kita begitu, terutama sepasang kekasih pantang menyebut larangan itu, nanti hubungannya akan berantakan. Kalau jomblo ga masalah,” imbuh Suparman sembari tertawa.
Begitulah Natuna, tak pernah lepas dari deretan cerita legenda. Uniknya, legenda itu menjadi akar budaya setempat. Bahkan, petuah dalam setiap legenda juga dihormati dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pribumi.
Geopark Natuna terbentang dari bagian selatan hingga ke utara, hampir menutupi separuh sisi timur Pulau Bunguran. Batu Kasah dan Senubing, barulah sebagian dari total 8 geosite yang ada.
Selain kekayaan Geologi, Geopark Natuna juga diberkati keanekaragaman hayati (biodiversity). Fauna yang bisa kita lihat seperti ,Kekah, hewan primata langka yang hanya ada di Natuna, ada lagi kupu-lupu dan penyu langka, dan jika beruntung Anda juga bisa melihat hiu paus .
Sementara dari sisi budaya (culturaldiversity), Negeri melayu ini memiliki warisan budaya benda(WBB), berupa makam sejarah abad 9 dan berbagai situs arkeologi. Sedangkan untuk warisan budaya tak benda(WBTB) ,meliputi kesenian Mendu, Lang-lang Buana, gasing, tradisi tepung tawar, berbagai kuliner tradisional, pantun, hingga kerajinan tangan penduduk lokal yang telah lama dipasarkan hingga ke Negeri Jiran Malyasia.
Kini, anda, kita semua dan dunia pun dibuat sadar, bahwa Natuna tak hanya tentang Minyak dan Gas. Ada Surga kecil disini yang pendarnya kian lama menembus nirwarna. Keindahan Natuna bukan bualan semata, tapi nyata bagi yang mau menjemputnya.
Dari Geopark Natuna kita juga bisa mengambil sebuah pesan moral, bahwa eksploitasi bisa berjalan harmonis dengan konservasi. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya untuk mewujudkan asa Natuna, menjadi bagian dari Geopark Dunia.
Penulis: Alfiana