NATUNA – “Aaa ini dia, kapal perang China, nomor lambung 172,” ujar nelayan Natuna dalam video yang tersebar di media sosial.
“China cost guard,” ujar nelayan lainnya.
“Bukan cost guard ini, kapal perang,” sanggah nelayan yang merekam video tersebut.
Jika mengacu pada pernyataan nelayan yang menyebut kapal China itu bernomor lambung 172, maka kemungkinan besar kapal dimaksud itu adalah kapal perang tentara China dengan tipe destroyer atau perusak, bernama Kunming dengan tipe 052D.
Video aktivitas kapal China yang diabadikan oleh nelayan Natuna pada Senin (13/9/2021) lalu itu pun menghebohkan jagat sosial media. Bahkan ikut dikompori oleh berbagai media massa nasional.
Sebenarnya bukan hal baru bagi nelayan Natuna berpapasan dengan kapal-kapal asing di perairan ZEEI, seperti kapal perang china, kapal cost guard (penjaga pantai) dan kapal ikan asing pelaku illegal fishing. Hanya saja karena memikirkan keamanan dan keselamatannya, biasanya nelayan lokal yang cuma menggunakan kapal kayu bertonase 5 hingga 15 gross ton memilih menghindar.
Kekayaan laut Natuna memang menjadi ironi berkelanjutan. Nelayan lokal seperti dibiarkan sendiri berhadapan dengan ganasnya laut dan kekuatan asing yang intimidatif.
Pertama, mereka terintimidasi kehadiran kapal-kapal China yang kian masif hilir mudik terkait dengan konflik wilayah Laut China Selatan. Kedua, mereka harus bertahan hidup di tengah praktik penangkapan ikan berlebih oleh kapal pukat dari luar dan dalam negeri.
Sementara itu, nelayan Natuna hanya mengandalkan ketradisian yang turun temurun dilakukan dan masih berlangsung hingga sekarang. Tali dan kail, masih menjadi alat tangkap andalan nelayan lokal.
Potensi Perikanan di WPP 711 dan Laut Natuna Utara
Potensi perikanan di WPP 711 khususnya Laut Natuna Utara memang sangat seksi di mata para negara tetangga Indonesia. Tak heran, jika hingga kini nelayan asing pelaku ilegal fishing masih bergentayangan di Laut Natuna Utara, meski penangkapan oleh aparat keamanan Indonesia masif dilakukan.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, potensi sumber daya ikan (SDI) di WPP 711 pada tahun 2016 diketahui sebesar 1.143.341 ton per-tahun (SK Menteri No.47/KEPMEN-KP/2016).
Sementara pada tahun 2017 potensi itu mulai berkurang menjadi sebesar 767.126 ton (SK Menteri No. 50/KEPMEN-KP/2017).
Sedangkan berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011, potensi sumberdaya ikan laut Natuna adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun atau sekitar hampir 50% dari potensi WPP 711, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80% dari potensi lestari) mencapai 403.370 ton.
Melansir data BPS Kabupaten Natuna, di tahun 2019 hasil tangkapan ikan di Laut Natuna mencapai 104.879,82 ton, artinya baru 20 persen lebih termanfaatkan dari potensi perikanan di perairan tersebut.
Hasil tangkapan terbanyak di Natuna adalah cumi-cumi, jumlahnya mencapai 20.289,52 ton. Kemudian diikuti ikan kerapu sebesar 5.791 ton dan ikan kurisi sejumlah 5.154,55 ton.
Minimnya pemanfaatan hasil laut Natuna seperti terpapar dalam data, sebanding dengan minimnya prasarana alat tangkap nelayan Natuna, dan masih tradisionalnya sistem penangkapan ikan.
Menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Natuna Tahun 2019, dari total nelayan Natuna sebanyak 10.400 orang, hanya 2.719 orang Nelayan yang memiliki kapal motor dan nelayan pemilik perahu tanpa motor sebanyak 1.206 orang.
Nelayan Natuna yang memiliki kapal ikan bertonase besar juga masih sangat minim, hanya ada 6 unit kapal ikan berukuran 30 Gross ton (gt) atau lebih. Sementara paling banyak adalah kapal ikan berukuran 0-5 gt sebanyak 2.543 unit, 5-10 gt 382 unit, dan 10-20 gt 25 unit.
Nelayan Natuna Prajurit Terdepan Berkearifan Lokal
“Setelah beroperasinya kapal cantrang ini, jangankan mau 200-500, paling mentok hasil tangkapan kita 100 kilo, itu paling banyak,” keluh Sardan (47), nelayan Warga Air Raya RT 03 Kelurahan Bandarsyah, Rabu, 29 September 2021.
Sardan menjadi salah satu nelayan tradisional Natuna yang merasakan dampak dari keberadaan kapal cantrang di Laut Natuna. Dengan pompongnya (kapal motor-red) yang hanya bertonase 2 Gt ini, Sardan kerap bersaing dengan kapal ikan modern yang bertonase lebih besar.
Begitupula Rahmat Wijaya (35) nelayan lokal yang mengaku sering berhadapan langsung dengan Kapal Ikan Asing (KIA) pelaku ilegal fishing dan kapal cantrang Pantura Jawa.
Ketua Kelompok Nelayan Desa Batu Gajah ini, mengungkapkan fakta selama ini nelayan yang melakukan penangkapan ikan di zona area tangkap 170 mil adalah nelayan lokal, bukan nelayan cantrang sebagaimana yang pernah dijanjikan oleh pemerintah.
“Jadi yang selalu berhadapan dengan KIA itu, adalah kita nelayan Natuna sendiri, intinya 80% informasinya yang didapatkan oleh aparat penegak hukum di laut itu berasal dari nelayan lokal, bukan dari nelayan cantrang, kalau kapasitas memberi laporan tentang keberadaan KIA ilegal fishing dan keberadaan kapal perang asing, itu berasal dari laporan nelayan lokal, bukan nelayan cantrang,” tegasnya.
Dari pengakuan para nelayan lokal, cantrang bukan hanya menyapu seluruh jenis ikan di dasar laut, melainkan juga merusak karang-karang yang menjadi tempat tinggal dan berkembang biak ikan. Apalagi, karang juga menjadi tempat mencari nafkah para nelayan Natuna. Pasalnya, ikan yang memiliki nilai jual tinggi adalah ikan-ikan karang.
Menilik data Ditjen Perikanan Tangkap KKP, jenis Ikan Karang masuk dalam 18 kelompok jenis ikan dengan status stok memburuk.
Hal ini terlihat dalam tabel perbandingan tingkat pemanfaatan stok ikan tahun 2013 dan 2016, dimana khususnya pada WPP 711 ditandai dengan warna merah, yang diartikan dengan pemanfaatan berlebihan atau over exploitation.
‘Pil Pahit’ UU 23 Tahun 2014 Bagi Natuna
Sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, daerah-daerah berkarakteristik kepulauan adalah yang paling besar merasakan dampaknya.
Pada Pasal 27 ayat (1) UU No. 23/2014, Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya, yang dihitung mulai dari 0 sampai 12 mil laut, sementara diatas 12 Mil akan dikelola pemerintah pusat, sedangkan Kabupaten/Kota kewenangannya ‘mentok’ dibibir pantai alias tidak mendapat kewenangan di laut.
Hal ini menjadi ‘pil pahit’ yang harus ditelan Daerah Kepulauan seperti Kabupaten Natuna. Pasalnya, laut merupakan ‘ladang’ uang bagi perekonomian daerah tersebut.
Jangankan untuk mengelola sumber daya kelautan, untuk membantu nelayan setempat saja berat bagi kabupaten terdepan ini.
“Dengan tak ada kewenangan kita terkunci disitu, paling kita lewat DAK dan menyampaikan ke provinsi, tapi kan tak maksimal karena Provinsi Kepri tak hanya Natuna saja,” ucap Kepala Dinas Perikanan Natuna, Zakimin, menerangkan kesulitan pihaknya membantu nelayan lokal menggunakan APBD Natuna, Kamis (30/9).
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Forum Masyarakat Miskin (LSM Formis) Kabupaten Natuna, Ronny Kambey, juga menyayangkan perubahan UU Nomor 32 tahun 2004 ke UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.
Mengambil alih kewenangan laut, menurut Ronny sama saja dengan membunuh perekonomian rakyat khususnya para nelayan lokal. Sebab sumber penghasilan masyarakat Natuna masih bergantungan dengan hasil laut dan kegiatan-kegiatan pemerintah daerah.
Ronny menganggap aturan tersebut mengkerdilkan daerah. Seharusnya UU dibuat tidak mengkerdilkan masyarakat, khususnya masyarakat maritim kepulauan.
Sementara itu Tokoh Akademisi, Umar Natuna, melihat ada banyak faktor penyebab tertinggalnya nelayan lokal. Pertama sarana alat tangkap nelayan lokal masih tradisional. Kemudian sumber daya manusia diketahui lebih banyak faktor warisan.
“Wariskan kerja ayahnya atau saudaranya, tidak banyak yang betul-betul serius untuk kerja itu, mereka secara alami saja, tradisional. Kemudian faktor pengelolaan pendapatan juga menjadi persoalan, sehingga nasibnya tidak banyak berubah. Mereka malah menguntungkan para penampung,” ujar pendiri Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kabupaten Natuna itu.
Faktor lainnya adalah iklim Natuna yang terbagi dalam beberapa musim. Ketika musim angin kencang (musim utara) nelayan lokal memilih untuk tidak pergi melaut. Sepanjang musim itu, perolehan hasil tangkapan ikan yang telah berubah menjadi uang sebagai modal untuk turun ke laut berikutnya habis terpakai.
Kedepan memang sudah harus ada pembinaan peningkatan kapasitas kemampuan, skil, dan keterampilan nelayan. Harus ada asosiasi atau koperasi yang bisa membantu modal bagi mereka untuk melaut. Sehingga mereka memiliki keiinginan tinggi dan bisa pergi melaut lebih lama serta lebih jauh.
“Mungkin semacam tempat mereka mengadu, karena selama ini mereka mengadunya sama toke, kadang-kadang toke juga berat bebannya,” sebut Umar Natuna.
Selain itu hasil tangkapan ikan nelayan justru di jual utuh belum di olah. Natuna belum menjual ikan dalam bentuk olahan dagingnya saja. Padahal ekspor daging ikan terbilang mahal. Pemerintah pun dinilai tak jeli melihat potensi daerah terdepan ini.
“Misalnya industri pengolahan ikan, sampai saat ini Natuna belum ada industri pengolahan ikan dan segala macam yang skalanya besar, yang ada itu kan baru kegiatan UMKM kerupuk ikan,” cetusnya.
Saat ini Umar Natuna juga melihat tantangan kehidupan nelayan semakin terjepit. Sebab dalam keterbatasan sarana prasarana tangkap yang dimiliki, keamanan nelayan Natuna saat berada di laut juga terus terusik.
“Artinya suram masa depan mereka (nelayan Natuna-red), padahal potensi di laut cukup besar dan sangat menjanjikan, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa dan berpengalaman menangkap ikan disekitar laut itu,” pungkasnya.
Jadikan Nelayan Natuna Mata dan Telinga Negara di Perbatasan
“Sesungguhnya bahwa negara tetangga itu tidak membodohi kita. Tetapi mereka hanya memanfaatkan kebodohan kita, karena memang selama ini kita alpa mencerdaskan kehidupan bangsa di laut dan perbatasan,” ujar Wakil Bupati Natuna, Rodhial Huda dalam ‘In House Training Jurnalistik Maritim Berwawasan Kebangsaan’ yang dihelat UPN ‘Veteran’ Yogyakarta bekerjasama dengan Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) di Indonesia, September lalu.
Menurut Rodhial, mengawal anugerah potensi maritim bukan seperti kapal perang mengawal batas laut. Tetapi bagaimana meningkatkan sumber daya manusia yang minim ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi mampu bersaing dengan negara-negara tetangga.
Tokoh Maritim Natuna ini juga berkeyakinan jika nelayan Natuna ditingkatkan sumberdaya manusianya, kemampuan kapal dan alat tangkapnya, serta diberikan wawasan bela negara. Maka negara tidak akan kesulitan memelototi laut perbatasan utara.
“Angkatan Laut, Bakamla, hanya tinggal memanfaatkan meraka (nelayan Natuna-red) sebagai mata, telinga, dan tangan pemerintah atau penegakkan hukum di laut. Karena kalau hanya kapal patroli, kapal perang, kapal bakamla yang mengawal dan menjaga perairan yang begitu luas, tidak akan bisa melakukan hal yang sesungguhnya,” sebutnya.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyiapkan anggaran Rp12,2 triliun untuk penguatan keamanan laut di Natuna.
Pemerintah menyampaikan anggaran itu digunakan untuk memenuhi kecukupan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AL di Natuna sebesar 40,59 persen. Anggaran itu juga dipakai untuk memenuhi kecukupan alat peralatan keamanan laut (alpakamla) milik Bakamla sebesar 44,17 persen.
Menanggapi anggaran fantastis yang digelontorkan negara, Wakil Ketua DPRD Natuna, Jarmin, berharap nelayan Natuna ikut kecipratan anggaran dalam program tersebut.
Menurut Jarmin, tak ada salahnya jika negara menyisihkan sedikit untuk penguatan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia nelayan Natuna.
***Tim Kelompok III
Berita ini dibuat dalam rangka liputan kolaboratif kegiatan in house training jurnalistik maritim berwawasan kebangsaan oleh LPKW UPN Veteran Yogyakarta bekerjasama dengan Kedubes Amerika di Indonesia