Mandalapos.co.id, Natuna — Pemerintah Daerah (Pemda) dan DPRD Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan riau (Kepri), akhirnya secara resmi melayangkan surat protes kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021.
Surat protes yang membahas perjuangan nasib masyarakat nelayan di perbatasan Natuna tersebut disampaikan oleh Wakil Bupati Natuna, Rodhial Huda bersama Wakil Ketua I DPRD Natuna, Daeng Ganda Rahmatullah, dan Ketua Komisi II DPRD Natuna beserta anggotanya juga perwakilan nalayan Natuna melalui Direktorat Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP RI, Jum’at (11/03/2022) siang.
“Kehadiran Pemda bersama DPRD Natuna di KKP karena banyaknya laporan masyarakat nelayan tentang kapal-kapal yang diizinkan pemerintah pusat seharusnya beroperasi pada zona di atas 30 mil. Tetapi mereka beroperasi malah tidak sesuai dengan yang ditentukan Permen KP Nomor 18 Tahun 2021,” kata Marzuki, Ketua Komisi II DPRD Natuna menceritakan pertemuannya, kepada awak media melalui telepon seluler.
Kata Marzuki, Pemkab Natuna mengirim surat protes dikarenakan adanya peristiwa penangkapan salah satu kapal nelayan yang izin tangkapnya dikelurkan oleh pemerintah pusat. Kapal tersebut di tangkap oleh Satpolairud Polres Natuna saat beroperasi di sekitar perairan laut Pulau Subi.
Kapal dengan bobot 130 Gross Tonnage (GT) bernama KM Sinar Samudra yang ditangkap atas laporan nelayan pada Kamis, 17 Februari 2022 menggunakan Alat Penangkap Ikan (API) jenis jaring tarik berkantong ini ditangkap karena melanggar batas tangkap. Sejatinya, kapal tersebut beroperasi di atas 30 mil.
“Nah! KM Sinar Samudra tertangkap sekitar 13 mil laut dari garis pantai, jadi surat protes itu dilayangkan dikarenakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Permen KP Nomor 18 Tahun 2021,” terang Marzuki.
Menurut Marzuki, terdapat beberapa poin penting yang disampikan Wakil Bupati Natuna, Rodhial Huda pada pertemuan dengan Ditjen Perikanan Tangkap KKP RI. Salah satunya agar lebih memperketat pengawasan terhadap kapal-kapal yang telah diberikan izin oleh pemerintah pusat supaya tidak beroperasi di bawah 30 mil, karena berdampak pada nelayan lokal.
“Jadi kita dari Komisi II DPRD Natuna juga menyampaikan hal yang sama dan kita minta melalui Ditjen untuk Menteri KKP meninjau kembali Permen KP Nomor 18 itu. Sebab laporan yang diterima oleh DPRD lewat Komisi II bahwasanya tidak ada ubahnya antara jaring berkantong dengan cantrang, menurut mereka para nelayan pada intinya dianggap tidak ramah lingkungan,” ujar Marzuki.
Diceritakan Marzuki, KKP melalui Dirjen Perikanan Tangkap saat itu, menyampaikan bahwasanya memang tidak ada satupun alat tangkap yang dimaksud ramah lingkungan. Tetapi menurut Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, alat tangkap yang mereka keluarkan izin sudah sesuai dengan ketentuan.
“Jawaban dari mereka katanya alat tangkap sudah sesuai, tidak lagi seperti cantrang, tidak lagi seperti trawl. Bahkan dari Direktur Pengawasan PSDKP mengatakan seluruh kapal yang mereka keluarkan izin terpasang Automatic Identification System (AIS) sehingga mereka bisa tahu ketika kapal itu melanggar aturan dan langsung dikenakan denda,” ungkap Marzuki.
Jadi lanjut Marzuki, menurut Muhammad Zaini, MM selaku Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP RI, kapal-kapal yang diketahui melanggar zona tangkapan tetap akan diberikan sangsi administrasi berupa denda. Begitu juga dengan KM Sinar Samudra yang tertangkap di laut Pulau Subi.
“Di tangkap atau tidak! ketika mereka buka alat yang terpasang di kapal-kapal tersebut ternyata ditemukan ada yang melanggar zona tangkapannya, maka mereka langsung mengenakan denda kepada kapal-kapal yang melanggar itu, termasuk KM Sinar Samudra dikenakan denda sebesar Rp159 juta,” cetus Marzuki.
Sayangnya Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI selama ini tidak begitu terbuka dengan daerah-daerah penghasil ikan yang merasa terusik. Sebagai wakil rakyat Natuna, Marzuki pun mengaku heran dan sempat mempertanyakan sejauh mana aksi yang dilakukan KKP terkait penegakan Permen KP Nomor 18 Tahun 2021.
“Sebetulnya sudah berapa banyak kapal yang mereka berikan denda ketika tidak tertangkap seperti KM Sinar Samudra? Katanya ada alat otomatis begitu dibuka ketahuan yang melanggar. Setelah ada kejadian di tangkap baru dipublikasikan bahwa kapal ini kena denda. Padahal menurut nelayan kita ada banyak yang beroperasi di bawah zona yang ditetapkan. Makanya kita minta mereka diawasi dengan benar,” pungkas Marzuki.
Marzuki juga sempat meragukan keberadaan alat yang terpasang di kapal-kapal nelayan, suatu sistem yang dapat mengirim atau menerima informasi secara elektronik dan otomatis tentang data umum sebuah kapal antaralain nama, jenis, waktu, tanggal, kecepatan, posisi, arah pergerakan (heading), rute kapal dan informasi lain yang diperlukan oleh KKP.
“Nah ! alat itu juga jadi tanda tanya bagi kita, kenapa hari ini mereka tidak langsung tangkap saja atau langsung denda jika terbukti ada yang melanggar zona tangkapan. Kenapa mesti harus menunggu adanya laporan dari nelayan di daerah,” tegas Marzuki.
Turut hadir pada pertemuan yang berlangsung di Ruang Rapat Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu, Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda, Wakil Ketua I DPRD Natuna Daeng Ganda Rahmatullah, Ketua Komisi II DPRD Natuna Marzuki dan anggotanya, Kadis Perikanan Natuna, serta Ketua HNSI Natuna.
Sementara dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI mewakili Pemerintah Pusat yang hadir saat itu diantaranya Dirjen Perikanan Tangkap, Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Dirjen Perizinan, dan Dirjen Pengawasan, serta Inspektorat KKP RI. ***Al (ADV)