Mandalapos.co.id, Natuna – Polres Natuna bekerjasama dengan Pemkab Natuna, HNSI dan KNPI. Menggelar Sarasehan untuk mengedukasi para Nelayan, Tokoh Masyarakat, dan Pemuda dalam rangka menjaga dan memperkuat kedaulatan di laut Natuna Utara. Jumat (26/11) di Hotel Tren Central, Ranai.
Tak tangung-tanggung, kegiatan ini menghadirkan narasumber berkompeten yakni Profesor Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia.
Mengangkat tema ‘Peran Nelayan Menjaga Kedaulatan dan Hak Berdaulat RI di Laut Natuna Utara’, Profesor Hikmahanto yang mengikuti acara secara virtual ini mengatakan, demi tegaknya kedaulatan dan hak berdaulat NKRI, para nelayan Indonesia harus membanjiri Laut Natuna Utara.
Ia menjelaskan, di laut NKRI memiliki dua kawasan yakni wilayah kedaulatan dan hak berdaulat. Wilayah kedaulatan dikenal dengan laut teritorial, sedangkan wilayah hak berdaulat dikenal dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
“Ini yang perlu diketahui terlebih dahulu oleh nelayan. Wilayah teritori kita hanya sejauh 12 mil dari bibir pantai, sementara ZEEI sejauh 200 mil. Batasan ini diatur pada ketentuan UNCLOS dan berdasarkan landas kontinental,” terangnya.
Hikmahanto melanjutkan, Negara memiliki kekuasan penuh atas wilayah teritori. Di wilayah ini negara boleh membuat dan menerapkan peraturan di sana dan kapal-kapal asing tidak boleh melintas maupun beraktifitas di sana kecuali atas izin dari negara.
Sedangan di ZEEI negara hanya berwenang memanfaatkan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya melalui proses eksplorasi dan eksploitasi. Wilayah ini dikenal dengan laut lepas dan jalur pelayaran damai, siapa saja boleh berlayar di sana. Tapi apabila ada pihak asing yang mau mengambil sumberdaya alam dari ZEEI, mereka harus memiliki izin dari negara.
“Jadi siapa saja boleh melintas dengan damai di ZEEI dan tidak boleh ada senjata yang meletus di sana,” imbuhnya.
Namun menurut Hikmahanto, negara memiliki sejumlah persoalan di wilayah Laut Natuna Utara. Persoalan itu diantarnya berupa overlapping claims dengan negara tetangga, ancaman tindak pidana illegal fishing, Nine Dash Line Cina dan beberapa persoalan lainnya.
Mengahadapi persoalan-persoalan ini, negara tidak cukup hanya menjalankan pendekatan militer. Tapi juga harus mengedepankan diplomasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat ditempuh dengan cara meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengeksploitasi sumberdaya kelautan.
“Maka menurut saya nelayan Natuna memilki karakter yang berbeda dengan nelayan di daerah lain. Karena di samping bertujuan mencari nafkah di laut, nelayan Natuna juga berperan sebagai penjaga keamanan wilayah perbatasan demi tegaknya kedaulatan dan hak berdaulat di Laut. Ini unik,” sebutnya.
Pada kesemapatan itu Hikmahanto menwarkan empat solusi kepada pemerintah Indonesia untuk mengatasi persoalan di Laut Natuna Utara. Solusi itu meliputi, subsidi nelayan dan mengizinkan kapal besar menangkap ikan di Perairan Natuna, Bakamla harus menjaga nelayan, Bakamla harus terus melakukan pengawasan dan Patroli di ZEEI dan pemerintah harus tetap pada kebijakan tidak mengakui Nine Dash Line Cina.
“Ini menurut saya berat bagi pemerintah. Tapi kita bersyukur, pemerintah telah mulai menyiapkan infrastruktur secara bertahap di Natuna. Mudah-mudahan ini dapat ditingkatkan di masa depan,” tutupnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda, mengatakan, sebagai kawasan strategis nasional pembangunan di Natuna tidak dapat dilakukan dengan cara biasa, karena membangun Natuna bukan hanya membangun sebuah pulau, namun membangun kepulauan.
Selain itu lanjut Rodhial, membangun Natuna baik itu mau dijadikan Provinsi khusus ataupun Otorita, yang terpenting bagaimana membuat Natuna supaya tidak terlihat jomplang dengan negara tetangga, pasalnya Natuna berbatasan dengan berbagai negara.
Terutama dengan kondisi nelayan Natuna yang hingga saat ini masih terbatas dalam alat tangkap dan kemampuan untuk mencapai ke Zona Ekonomi Eklusif, sehingga dilaut Natuna Utara tepatnya dikawasan ZEE, masih tampak minim nelayan lokal beroperasi.
“Kami di Natuna bisa saja, karena nelayan kami dianggap lemah, tidak ramai, kapalnya kecil, sehingga dianggap ZEE Natuna itu kosong, sehingga akan diisi nelayan dari luar Natuna, namun kondisi dilapangan itu terjadi pergesekan antara nelayan Natuna dengan nelayan dari luar, ini harus menjadi perhatian pemerintah,” ungkap Rodihial.
“Hingga saat ini dengan kondisi ketimpangan ini harusnya pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada nelayan di Natuna dengan mendukung melengkapi sarana dan prasarana para nelayan lokal didaerah ini,” imbuhnya. ***Fian