JAKARTA – Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 yang melarang remisi bagi narapidana korupsi menjadi polemik beberapa bulan terakhir. Perdebatan tentang ini memuncak pasca sebelumnya Mahakamah Konstitusi (MK) menyatakan semua narapidana berhak mendapatkan remisi.
Pada Kamis (28/10), Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan mengabulkan Gugatan Tata Usaha Negara terhadap PP 99/2012 tersebut. Gugatan yang terregister 28 P/HUM/2021 tercatat diajukan oleh pemohon bernama Subowo kepada termohon Presiden RI.
Putusan MK tersebut mengacu pada filosofi UU Pemasyarakatan yang bukan atas dasar penjeraan dan pembalasan.
Diketahui, Subowo dkk sebagai pemohon adalah mantan kepala desa (kades) yang merasa keberatan atas sejumlah pasal dalam PP 99/2012. Subowo lalu menggugat PP tersebut karena dianggap mengebiri hak-hak warga binaan, terutama dirinya yang terpaksa mendekam di Lapas Suka Miskin akibat maladministrasi dan divonis korupsi.
Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial (HAM) Indonesia, Asip Irama, menganggap putusan MA mengabulkan gugatan atas PP 99/2012 adalah angin segar. Dirinya menilai, PP tersebut bertentangan dengan perundangan dan tidak mencerminkan spectrum hak asasi manusia (HAM).
“Dalam prinsipnya, setiap narapidana memang memiliki hak hukum termasuk untuk mendapatkan remisi. Hal tersebut diatur sangat jelas dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Karena itu, putusan MK sudah tepat menguji dan memutus bahwa narapidana korupsi juga berhak mendapatkan remisi,” ungkap Asip.
Meski begitu, kata Asip, MK hanya berwenang mengadili dan tidak punya wewenang untuk mencabut PP 99/2012. Karena itu, mengabulkan judicial review PP tersebut oleh MA yang diputus hari ini harus kita apresiasi. Pasalnya, lanjut Asip, PP tersebut selain bertentangan dengan UU, secara normatif memang bermasalah.
“Dikabulkannya uji materi atas PP 99/2012 oleh MA tentu makin melengkapi prosedur konstitusional untuk menunjukkan bahwa PP itu bermasalah. Sejak awal, PP tersebut memang bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang juga menjadi landasan filosofis dalam UU Pemasyarakatan,” ujar dia.
Bagaimanapun, lanjut dia, pembinaan di lembaga pemasyarakatan bukan sama sekali didasari pada asas balas dendam. Paradigma pemidanaan hari ini mesti mempertimbangan unsur perbaikan, rehabilitasi, dan integrase pelaku. Karena itu, sangat absah jika narapidana tak kecuali narapidana korupsi berhak mendapatkan remisi.
“Saya berharap, putusan MA tersebut diapresiasi dan dihormati oleh semua kalangan demi keteraturan dan kepastian dalam hukum. Polemik soal remisi mungkin memang debatable, tetapi putusan MA sifatnya mengikat sehingga semua warga negara mesti tunduk demi memnuhi unsur keadilan yang berkemanusiaan,” tutup Asip. ***Resman.S